Bayern Munich, Raja Jerman yang Tak Benar-Benar Tumbang

Bayern Munich, Raja Jerman yang Tak Benar-Benar Tumbang
Font size:

Musim 2023/24 menjadi periode kelam bagi Bayern Munich. Mereka menutup musim tanpa satu pun gelar pada musim tersebut. Banyak yang mengira dominasi Bayern di Jerman telah berakhir. Namun, memasuki musim 2024/25, sejumlah indikator menunjukkan bahwa Bayern tidak hanya bangkit, tetapi siap kembali merajai sepak bola Jerman.

 

Kemenangan di Bundesliga 2024/25 menjadi penanda kebangkitan klub berjuluk The Bavarians tersebut. Dan di balik kebangkitan ini, ada tiga faktor kunci: revolusi taktik di bawah pelatih baru Vincent Kompany, strategi transfer yang lebih terarah, serta inkonsistensi para pesaingnya.

 

Kejutan Vincent Kompany

 

Penunjukan Kompany sempat menuai skeptisisme. Bagaimana tidak, ia baru saja terdegradasi bersama Burnley di Liga Primer Inggris. Kritik tajam mengarah pada gaya bermainnya yang dianggap naif, keras kepala, dan buruk dalam menyusun transfer. Namun, Bayern melihat hal yang berbeda. 

 

Kompany datang bukan untuk merevolusi total, tetapi untuk menyempurnakan warisan taktik dari era Thomas Tuchel, yakni dengan menambah fleksibilitas dalam sistem permainan Bayern. Jika Tuchel menekankan tekanan agresif dan struktur vertikal, maka Kompany menambahkan dua elemen penting: penguasaan bola yang lebih sabar dan disiplin posisi yang lebih tinggi. 

 

Screenshot 2025-05-27 025905

Eric Dier yang berposisi bek tengah membangun serangan

 

Serangan Bayern kini dibangun dari belakang dengan kontrol tempo yang lebih baik, sambil tetap menjaga pressing intensif di fase defensif. Pendekatan ini terbukti ampuh. Struktur pertahanan Bayern yang sebelumnya mudah ditembus, kini jauh lebih solid. Hasilnya, rasio kemenangan Kompany mencapai 68,6% daripada Tuchel berkisar 64%.

 

Rataan itu menunjukkan efektivitas taktik yang diterapkan sejak awal musim. Pelatih kelahiran 10 April 1986 itu juga tampil sebagai pemimpin ruang ganti yang mampu membangun kedisiplinan kolektif. Bagi Bayern, ini lebih dari sekadar pelatih, melainkan langkah awal dari proyek jangka panjang.

 

Transfer yang Akurat dan Terintegrasi

 

Salah satu titik lemah Kompany di Burnley adalah strategi transfernya. Namun di Bayern, ia tak berjalan sendirian. Hadirnya Christoph Freund sebagai Direktur Olahraga menghadirkan keseimbangan dalam pengambilan keputusan transfer. Meski sempat diragukan karena reputasinya sebagai "penjual" pemain saat di Salzburg, Freund justru menunjukkan ketajamannya dalam melihat potensi pemain muda. 

 

Hal ini sangat selaras dengan filosofi Kompany. Alih-alih belanja pemain bintang secara membabi buta, Bayern mendatangkan talenta potensial seperti Michael Olise. Meski berasal dari klub papan tengah Liga Inggris, ia menunjukkan performa yang langsung memberikan kontribusi nyata.

 

w640xh480_GettyImages-2161204811

Michael Olise saat bergabung dengan Bayern Munich. Sumber foto: The Score

 

Olise menjadi salah satu pilar serangan kreatif, sementara Joao Palhinha dari Fulham memperdalam lini tengah dengan kestabilan dan pengalaman. Kesuksesan ini juga tak lepas dari keberanian memberi tempat kepada pemain muda seperti Aleksandar Pavlovi?, yang melengkapi regenerasi bersama Jamal Musiala.

 

Keputusan melepas Matthijs de Ligt dan Noussair Mazraoui sempat dipertanyakan, namun terbukti tidak mengganggu keseimbangan skuad. Bayern justru kembali tampil cair, lebih fleksibel, dan lebih lapar akan kemenangan.

 

Saat Kompetitor Gagal Menjaga Konsistensi

 

Bayern tak hanya membaik, mereka juga memanfaatkan kemunduran rival-rival utama. Bayer Leverkusen mengalami musim yang lebih berat dengan beban jadwal yang padat di Bundesliga, DFB Pokal, Supercup, dan Liga Champions. Cedera pemain seperti Mario Hermoso, serta isu kepergian Xabi Alonso, turut mengganggu stabilitas ruang ganti.

 

Borussia Dortmund juga belum menemukan arah baru. Setelah Edin Terzi? mundur, Nuri ?ahin gagal memberikan efek instan dan dipecat pada Januari. Niko Kova? masuk di Februari, tetapi belum cukup waktu untuk membangun identitas baru. Kepergian sejumlah pilar seperti Marco Reus, Mats Hummels, Niclas Füllkrug, dan Donyell Malen turut memperlemah fondasi tim.

 

RB Leipzig menghadapi masalah serupa, yaitu ketergantungan pada pemain inti seperti Amadou Haidara yang rawan cedera, serta minimnya kedalaman skuad setelah kehilangan Andre Silva, Dani Olmo, Mohamed Simakan, hingga Elif Elmas. Di tengah kekacauan itu, Bayern tampil sebagai satu-satunya tim besar yang tidak banyak membongkar skuad, menjaga kontinuitas, serta memiliki pemain-pemain berpengalaman yang terbiasa menghadapi tekanan di berbagai kompetisi.

 

Bayern dibangun di atas mentalitas juara yang tertanam dalam setiap lini mulai dari pemain, staf, hingga manajemen. Musim tanpa gelar dianggap bencana dan menjadi bahan bakar untuk bangkit lebih cepat. Musim ini menjadi saksi kembalinya DNA Bayern, yaitu tajam, stabil, dan kompetitif di level tertinggi. 

 

Para pemain tidak hanya ingin menebus kegagalan musim lalu, tetapi juga mempertahankan status mereka sebagai simbol supremasi sepak bola Jerman dan ditakuti di Eropa. Bundesliga belum kehilangan rajanya. Ia hanya tertidur sejenak. Kini, sang raja telah bangun.

SCOUT PICK PANDIT FPL X HOOLIGANS GAMEWEEK 38: DIFERENSIAL
Artikel sebelumnya SCOUT PICK PANDIT FPL X HOOLIGANS GAMEWEEK 38: DIFERENSIAL
Inter Milan VS PSG: Duel Finalis Pesakitan
Artikel selanjutnya Inter Milan VS PSG: Duel Finalis Pesakitan
Artikel Terkait